Dari Palembang ke Dunia: Perjalanan Zainal Mengangkat Budaya Lokal



Zainal songket memiliki sejarah yang panjang dan unik, simbol pelestarian budaya ini menjadi fungsi kesadaran bagi generasi penerus, Kamis (8/5/2025). LestarFoto/Fitri Novitasari


Di sebelah kiri Jalan Ki Gede Ing Suro, Palembang, berdiri sebuah rumah yang sederhana namun  bermakna. Di situlah Zainal menenun benang demi benang menjadi kain yang tidak hanya indah, tetapi juga menyimpan sejarah dan filosofi budaya, Sumatera Selatan. Sudah lebih dari empat puluh tahun Zainal menekuni dunia songket, suatu keahlian turun-temurun dari sang Ibu, Cik Ipa.

Dulu, selepas menamatkan bangku kuliah, Zainal merantau ke Jakarta. Bukan hanya berbekal ijazah, melainkan ilmu tenun yang diwariskan neneknya. Ia menjajakan kainnya dari rumah ke rumah, berharap satu lembar songket bisa mengubah nasib. Penolakan demi penolakan diterima, tapi semangat Zainal tak pernah padam. 

“Saat itu orang Jakarta lebih kenal batik, belum tahu apa itu songket. Tapi dari situ saya mulai memperkenalkan,” kenang Zainal dalam cerita yang dituturkan oleh Imron, pengelola Museum Songket di Palembang.

Pameran pertamanya di ibu kota menjadi titik balik. Songket yang dulu hanya dikenal di kampung halamannya kini mulai mendapat tempat di hati masyarakat luas. Hingga terkenal ke 33 Negara melalui sebuah museum sebagai bentuk melestarikan songket lama.  

Nama ‘Cik Ipa’ yang awalnya menjadi merek dagang, kemudian diganti menjadi Zainal Songket atas saran para pelanggan. Bukan tanpa alasan yang jelas atau melupakan jasa neneknya, tapi agar lebih merepresentasikan sosok di balik karya itu sendiri. 

Imron menjelaskan bahwa dalam satu kain songket terdapat filosofi yang luar biasa. Ada 32 motif berbeda,  salah satunya, motif Naga Besaung. Dulu motif ini hanya boleh dikenakan oleh bangsawan atau jenderal. Simbol naga bermakna merepresentasikan kekuatan, keberanian, dan kegagahan para pemimpin. 

"Ada pula motif Bintang Mawar Berante, yang melambangkan penyatuan dua keluarga dalam ikatan pernikahan. Bintang berante itu seperti rantai yang menyatukan dua belah pihak pengantin wanita dan laki-laki,” jelas Imron.

Namun, keindahan songket bukan hanya terletak pada motifnya saja. Proses pembuatannya yang tidak mudah menjadikan setiap kain bernilai tinggi. Dimulai dari pencelupan benang, penguluran, pencukitan, penyambungan, hingga ditenun secara manual dengan kurun waktu tiga bulan. 

“Tidak semua bisa cepat, karena kekuatan manusia ada batasnya. Apalagi kalau motifnya rumit. Justru disitulah letak nilainya,” ujar Imron.

Harga songket pun beragam, mulai dari dua jutaan rupiah. Meski belum diekspor secara resmi, peminat dari luar negeri seperti Malaysia kerap datang langsung ke Palembang untuk memesan. Mereka mengagumi kehalusan dan makna dalam setiap kain songket buatan Zainal.

Menutup perbincangan, Imron menyampaikan pesan kepada generasi muda. Ia mengajak untuk melestarikan kembali dengan mencintai produk lokal dan menjaga warisan budaya dari kepunahan.

“Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Songket sudah dikenal ke luar negeri, tapi jika kita lupakan, bisa saja nanti malah diambil dan diakui orang lain. Jangan sampai warisan ini hilang begitu saja,” pungkasnya.


Reporter : Manda Dwi Lestari





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melodi Dalam Bayang Penjajahan

Potret Jejak Sejarah di Tepi Musi: Museum Sultan Mahmud Badaruddin II