Nasi Jagung Muara Sugihan: Rasa Lama, Cerita Tetap Hidup
Nasi jagung, olahan jagung kering yang dikukus, menjadi makanan pokok alternatif di wilayah pedesaan Jawa Timur, Selasa (12/5/2025). LestariFoto/Manda Dwi Lestari
Lestari.News| RUANGAN dapur sederhana di rumah Joko, di Muara Sugihan, tampak penuh dengan aroma nostalgia. Di sana, sejarah panjang nasi jagung terangkai dalam setiap alat dan proses yang dilakukan dengan telaten. Nasi jagung merupakan makanan pokok sejak 1932, berasal dari jagung yang diolah secara tradisional. diwariskan oleh leluhur dari Madura, khususnya oleh Wagimen, yang dulu mengenalkan makanan ini sebagai pengganti nasi beras yang langka di zaman Belanda.
Dahulu, nasi jagung bukan sekadar pengganti, melainkan makanan utama bagi rakyat kecil. Jagung, ketela pohon, dan gadung menjadi bahan pokok yang mudah didapat dan mampu bertahan di masa sulit. Proses pengolahannya pun masih sangat tradisional jagung dipipil, ditumbuk di lumpang hingga kulitnya hilang, kemudian direndam minimal satu malam untuk menghasilkan tekstur yang lembut dan enak. Metode manual ini masih dipegang teguh oleh beberapa keluarga, termasuk Joko yang masih ikut serta dalam prosesnya.
Joko menjelaskan, “Jagung dipipil (biji jagung yang di keluarkan dari tongkolnya ) dan ditumbuk hingga bersih dari kulit, kemudian direndam satu hingga dua malam agar rasanya maksimal.” Ia menambahkan bahwa setelah direndam dan dicuci, jagung ditumbuk lagi menjadi tepung basah yang kemudian dikukus hingga menjadi ampok.
Saat ini, alat modern sudah menggantikan peran lumpang dan alu, membuat tekstur nasi jagung sedikit berbeda, lebih kasar dan kurang lembut dibanding cara lama. Namun, rasa dan nilai historis nasi jagung masih melekat kuat di hati mereka yang tumbuh dengan makanan ini. Pola konsumsi masyarakat pun berubah setelah era Presiden Soeharto, yang membawa kemajuan pertanian dan memperluas produksi beras.
Joko menyebutkan bahwa sejak saat itu, nasi jagung mulai tergeser oleh nasi putih dari beras. Ia mengatakan bahwa pada masa lalu, khususnya antara tahun 1978 hingga 1986, nasi jagung sangat umum dikonsumsi di daerah Muara Sugihan. Menurutnya, pada waktu itu ketersediaan beras masih terbatas dan pemerintah memberikan jatah beras sehingga masyarakat bergantung pada jagung dan ketela pohon untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Joko mengungkapkan bahwa keluarganya mengandalkan hasil tanam ketela pohon dan jagung untuk bertahan hidup, terutama saat jatah beras dari pemerintah dirasa kurang. Ia mengatakan, “Nasi jagung menjadi andalan utama, diselingi dengan makanan lain seperti ketela pohon dan tiwul jika persediaan jagung habis.”
Proses pembuatan nasi jagung bagi Joko penuh dengan tahapan yang teliti. Setelah proses pengolahan selesai, ampok bisa dimakan langsung atau dikeringkan untuk disimpan lebih lama, lalu diolah kembali dengan cara direbus saat ingin dikonsumsi.
Menurut Joko, lauk yang paling pas menemani nasi jagung adalah tempe goreng, ikan, atau urap. Ia juga mengatakan bahwa nasi jagung favoritnya kerap dibuat nasi goreng sederhana yang mengingatkan pada masa kecilnya. Namun, untuk generasi muda kini, nasi jagung lebih dianggap sebagai makanan alternatif atau nostalgia, bukan lagi kebutuhan pokok sehari-hari.
Joko berharap, walau nasi jagung sudah mulai terlupakan, budaya kuliner ini jangan sampai hilang begitu saja. Ia menyampaikan pesan kepada generasi muda agar tidak melupakan warisan budaya, termasuk kuliner, kesenian, dan tata krama timur yang sarat dengan nilai-nilai tenggang rasa. Ia menilai bahwa budaya ketimuran, khususnya budaya Jawa, memiliki nilai yang masih relevan untuk kemajuan di masa depan.
Joko menyatakan, “Makanan pokok kita dulu nasi jagung, bukan hanya soal rasa tapi juga perjuangan. Jangan sampai budaya kita tertinggal atau tergeser begitu saja oleh pengaruh luar.” Pesan ini menjadi pengingat di tengah derasnya perubahan zaman dan modernisasi yang mengikis banyak hal lama.
Nasi jagung yang sederhana ini, dengan semua ceritanya, menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Sebuah warisan yang mengajarkan arti kesederhanaan, ketekunan, dan rasa syukur dalam kehidupan sehari-hari. Kini, walau bentuknya telah berubah dan konsumsi telah berkurang, nilai dan kenangan yang terkandung dalam setiap butir jagung tetap hidup dalam setiap keluarga yang merawatnya.
Reporter : Fitri Novitasari
Editor : Manda Dwi Lestari
Komentar
Posting Komentar