Rasa yang Tetap Abadi: Dari Masa Lalu Hingga Kini
Nasi tiwul, hidangan tradisional dari olahan gaplek (singkong kering) yang dikukus, menyajikan rasa sederhana namun penuh kehangatan dan nostalgia, Senin (12/5/2025).
“Rasanya tidak berubah dari zaman dulu hingga sekarang,” ucap wanita paruh baya.
Wanita itu berasal dari Jawa Timur bernama Kartirah. Ia, menceritakan kenangnya tentang Nasi Tiwul. Nasi Tiwul merupakan makanan berbahan dasar singkong yang pernah menjadi makanan pokok di daerah Trenggalek dan Ponorogo.
Kenangan makan nasi tiwul selama kurang lebih 9 tahun untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan mengejar cita-cita katirah dulu sangat menggambarkan kondisi sosial ekonomi pada masa itu.
Katirah juga menceritakan proses pembuatan Nasi Tiwul dari pengelolahan singkong yang dipanen hingga menghasilkan makanan yang khas. Dalam prosesnya, setelah singkong dikupas terlebih dahulu dikeringkan.
“Singkong dikeringkan di terik matahari sampai kering. setelah itu, ditumbuk untuk dihaluskan menjadi tepung. Tepung ini dibasahi secara perlahan dengan air sambil digoyang-goyang membentuk butiran kecil,” ucapnya.
Lebih lanjut, katirah menjelaskan setelah menjadi butiran kecil, biasanya dilakukan proses pengayaan untuk memastikan ukuran butiran seragam. Butiran yang terlalu kecil atau terlalu besar akan dipisahkan dan dapat diolah kembali agar hasil lebih merata. Setelah itu, tiwul yang telah siap untuk dikukus menggunakan dandang.
“Proses pengukusan ini biasanya memakan waktu sekitar 30 menit, tiwul bisa dikukus dua kali untuk menghasilkan tekstur yang lebih pulen dan cita rasa yang lebih matang, setelah matang tiwul siap disajikan,” ucap katirah.
Anak muda sekarang tampaknya mengalami pergeseran dalam cara mereka memandang budaya, khususnya dalam hal kuliner. Makanan tradisional bisa tergeser oleh makanan cepat saji atau tren kuliner baru. Hal ini wajar, karena budaya kuliner memang sangat dinamis dan sering kali mengikuti selera pasar dan gaya hidup yang terus berkembang.
“Berbeda halnya dengan budaya kesenian tradisional atau totokromo inggil (tata krama) dalam kehidupan masyarakat jawa, budaya ini cenderung lebih melekat dalam kehidupan sehari_hari dan memiliki akar yang kuat dalam norma dan nilai sosial,” ucapnya.
Reporter : Indri Aprianti
Editor : Manda Dwi Lestari
Komentar
Posting Komentar