Songket Palembang Warisan Abadi Yang Dijaga Dengan Cinta
Momen Foto bersama dengan penerus kedua ZAINAL SONGKET Kiagus M. Imron. Palembang, Kamis (8/5/2025). LestariFoto/Joka Misbakhul Munir
Lestari.News | Di balik keanggunan kain songket Palembang, ada sosok pemuda ber umur 34 tahun. Sebagai penerus kedua ZAINAL SONGKET, Kiagus. M. Imron. kelahiran, Jakarta (12/5/1991), Ia setia menjaga warisan budaya leluhur dengan semangat dan dedikasinya sebagai bentuk melestarikan budaya songket, Palembang.
ZAINAL SONGKET adalah museum pribadi yang didirikan pada tahun 2014, yang menjadi pusat edukasi dan pelestarian budaya songket Palembang. Museum ini memiliki ratusan koleksi songket yang unik dan langka, dengan motif yang berbeda-beda. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, Imron berencana untuk mengembangkan museum lebih lanjut dan mempromosikan songket Palembang ke seluruh dunia.
“Saya berusaha melamar kerja dimana-mana, namun selalu gagal saya terduduk diam, akhirnya memutuskan untuk meneruskan jejak Ayah saya sebagai penerus songket, dan memutuskan membuka mesuem. usaha kecil pun kalau sungguh-sungguh bisa lebih dari cukup. Jangan pernah remehkan pedagang es teh, penghasilan mereka pun bisa ngalahin gaji orang kantoran," ucap Imron.
Imron bukanlah seniman ternama atau pejabat. Namun, kecintaannya terhadap budaya Palembang mengalir kuat dalam darahnya. Berawal dari koleksi pribadi warisan orang tuanya, ia kemudian terpanggil untuk memperkenalkan keindahan dan filosofi kain songket kepada masyarakat luas.
“Tiap orang Palembang pasti kenal songket, tapi belum tentu tahu sejarahnya. Malu kalau budaya sendiri malah nggak kita rawat,” ujar Imron
Museum ZAINAL SONGKET bermula dari kumpulan kain songket milik keluarganya yang sudah diwariskan turun-temurun. Alih-alih menyimpan di rumah atau sebuah peti, ia berinisiatif membuka museum pribadi agar orang bisa datang melihat, dan belajar tentang ragam motif serta filosofi di balik setiap helai kain tenun itu.
“Songket itu bukan cuma kain mewah. Di tiap motifnya ada makna, ada kisah Adat, Filosofi hidup, bahkan doa-doa untuk pemiliknya,” tuturnya.
Dalam perjalanannya, menjaga eksistensi songket bukan perkara mudah. Selain harga bahan baku yang kian mahal, regenerasi perajin tenun menjadi tantangan besar. Itulah sebabnya, di area belakang museum, Imron memberdayakan 15 orang muda Palembang untuk belajar menenun.
“Menenun itu nggak bisa dipaksa, butuh hati tenang. Makanya di sini kita jaga suasana kerja. Kalau lagi suntuk ya berhenti dulu,” katanya sambil tersenyum
Imron juga punya cara menjaga merawat koleksinya. Ia memilih tidak menyalakan AC demi menjaga suhu ruang tetap stabil. Menurutnya, udara dingin bisa membuat kain lembab dan cepat rusak. Beberapa kain bahkan dibiarkan terbuka, agar pengunjung bisa menyentuh langsung teksturnya.
Berkat ketekunannya, songket Palembang dari museumnya kini dikenal hingga ke 33 negara. Tak jarang, wisatawan dari Jepang, Taiwan, hingga Eropa datang khusus untuk melihat langsung proses pembuatan kain tradisional ini.
“Mereka takjub di zaman serba digital masih ada orang yang mau bikin tenun manual. Jangan sampai budaya kita lebih dihargai orang luar daripada kita sendiri,” pesannya.
Imron mempunyai rencana membangun ruang edukasi khusus bagi anak-anak sekolah, mahasiswa dan masyarakat umum memperluas museum dan menambah koleksi. Dalam tiga tahun ke depan. Ia berharap seluruh Masyarakat Palembang antusias belajar budaya sendiri.
"Jangan sampai kita lupa dengan budaya sendiri dan tidak peduli dengan warisan leluhur kita. Mari kita lestarikan budaya songket Palembang dan jadikan sebagai kebanggaan kita semua," tutup Imron.
Imron menjadi contoh nyata dari dedikasi dan cinta terhadap warisan budaya Palembang. Dengan museum pribadi dan semangat untuk melestarikan budaya songket, mereka berharap dapat menjadi pusat edukasi dan pelestarian budaya songket Palembang untuk generasi-generasi selanjutnya.
Reporter : Tia Apriyani
Editor : Manda Dwi Lestari
Komentar
Posting Komentar